Pas saya lagi perjalanan pulang ke Lamongan tetiba muncul di benak saya berbagai macam hal yang menjadi amanah saya. Tadi malam saya memang sempat ngobrol bersama salah seorang pengasuh dan mengajaknya untuk menuliskan pengalamannya, perjalanannya, suka duka mengaasuh santri dan apa saja ke dalam sebuah tulisan. Harapannya para pengasuh bisa menemukan satu kesimpulan umum yang mengarah pada satu pola atau model pengasuhan pondok pesantren. Tapi beliau masih sungkan dengan alasan tidak punya pengalaman nulis.
Pas di jalan daerah Nganjuk, obrolan itu muncul kembali. Dan saya jadi pengen sekali melakukan refleksi selama setahun menangani bagian kepesantrenan. Saya sebuat satu tahun karena memang baru setahun ini saya membidangi bidang kepesantrenan.
Sekarang saya mampir di sebuah warung di pinggir Jalan besar Nganjuk. Sekedar minum kopi dan menuangkan ide tadi. Yakni menuliskan perjalanan dan pengalaman setahun menjadi pengasuh tapi judulnya saua ubah dengan bahasa yang lebih menggelitik yakni setahun jadi kiai.
Tulisan ini juga bukan untuk mengurai kekurangan sebelumnya ataupun untuk menjatuhkan pihak tertentu. Saya harus menuliskan pernyataan ini karena khawatir pas dibaca orang secara tidak sengaja tersinggung dengan tulisan ini.
Bagian 1
Tim dengan anggota wanita dan laki-laki minoritas. Saya istilahkan seperti itu karena memang bidang kepesantrenan dihandle oleh ustadzah. Dan ini wajar bahkan menurut saya wajib ustadzah karena yang nyantri putri semua. Bisa dibayangkan santrinya putri, yang ngasuh putra. Bisa diduga apa yang akan terjadi berikutnya.
Sebenarnya ini bukan kali pertama saya memiliki tim yang mayoritas perempuan. Sebelumnya pas saya membidangi madrasah aliyah, tim saya juga mayoritas perempuan.
Nah, ini yang unik memiliki tim yang mayoritas perempuan yaitu
1. Pola pikir teknis
Tak ada yang salah dengan pola pikir ini. Mungkin inilah ciri khas mereka para wanita. Berfikirnya detail dan teknis banget. Semuanya harus jelas. Programnya apa. Siapa pelaksananya. Kapan waktunya. Biayanya darimana. Sampai ada snacknya atau tidak.
2. Pasif
Apa memang begitu semua wanita? Entahlah. Saya pun tak berani menyimpulkan bahwa mereka semua pasif. Utamanya pada saat rapat. Jarang yang protes atau menyela atau bahkan mengkritik. Manut ae bawaannya.
Di satu sisi ini baik. Tim yang manut itu bagus. Tapi terlalu manut bisa ketergantungan. Ini yang menurut saya tidak bagus. Sisi kreatif nya kurang.
3. Kurang PeDe
Suatu ketika saya menawarkan sebuah konsep yang harapannya mereka semua nantinya diundang oleh orang atau masyarakat. Konsep sekolah pengasuhan yang saya tawarkan. Semuanya udah saya siapkan. Proposal sudah disiapkan. Surat pengantar sudah saya buatkan. Rundown acara juga sudah saya buatkan. Bahkan materinya saya buatkan juga. Pokoknya tinggal tampil.
Tapi ketika saya mengajak agar konsep ini bisa dinikmati orang lain atau lembaga lain semuanya atau rata-rata pada gak PeDe. Malu bicara depan orang lah. Nggak menguasai materi lah. Dan alasan-alasan lain yang memang berkaitan dengan sisi keperemluannya.
4. Dan lain-lain
Komentar