Awal ramadhan tahun ini saya mendapatkan kesempatan untuk menjadi juri perlombaan yang diadakan oleh RRI Kota Madiun. Saya merupakan salah satu juri anggota pada ajang lomba taushiyah.
Ini merupakan pengalaman yang luar biasa. Sebab saya bisa ketemu dan berkumpul bersama dengan para kiai dan para Bu Nyai yang secara nasab memiliki jalur nasab yang jelas khususnya dalam bidang per-kiai-an. Biasanya nasab mereka jelas dan runut bahkan dihafal luar kepala. Selain jalur nasab mereka juga memiliki keilmuan yang luar biasa.
Kalau tidak salah ingat, saya adalah satu-satunya yang bukan kiai. Pas kumpul bersama beliau-beliau rasanya saya agak sedikit minder. Sebab secara nasab saya bukan kiai atau gus.
Dalam kesempatan apapun saya lebih suka mengenalkan diri sebagai santri. Entah kenapa predikat ini (santri) bagi saya lebih berkesan dan keren dibandingkan dipanggil ustadz atau gus. Bukan karena tidak suka tapi secara sense lebih wow dan keren. Artinya seorang santri yang dalam perjalananya banyak memberi manfaat kepada masyarakat. Itu saja alasannya. Tidak ada yang lain.
Seorang kawan yang sempat ketemu di sebuah kantin sempat menyapa saya dan sampai saat ini menyapa saya dengan sebutan gus. Walau sudah berulang kali saya sampaikan saya bukan seorang gus.
Namun demikian realitanya agak susah mencegah orang atau masyarakat untuk memanggil saya ustadz. Karena predikat ini tidak bisa dipisahkan dari kiprah dakwah di kota tempat saya bekerja. Sehingga akhirnya saya pun menyetujui dipanggil ustadz😀
Sampai saat ini saya meyakini sebuah ungkapan yang menyatakan
الشرف لا بالنسب ولكن بالعلم والأدب
Kemuliaan itu bukan karena nasab tapi karena ilmu dan adab.
Komentar