Sebenarnya masih banyak kepingan ingatan yang ingin saya coba uraikan dalam tulisan ini. Namun ternyata lumayan sulit juga untuk merangkai kepingan ingatan yang terjadinya sejak tahun 1997 lalu. Namun demikian saya akan coba menguraikan nya semampu saya agar pengalaman ini menjadi sebuah pelajaran dan renungan minimal bagi diri saya sendiri.
Pada saat saya duduk di kelas 4 MI, ada beberapa kitab kuning yang saya pelajari. Diantaranya adalah kitab jurmiyyah. Kitab yang mengkaji tentang dasar-dasar ilmu nahwu. Kalau pas MI di kampung saya hanya belajar Nahwul Wadhih. Entah kenapa kitab-kitab ini sangat erat melekat di ingatan saya. Semua kitab nahwu dasar tersebut benar-benar saya ingat namanya walaupun isinya tidak terlalu sempurna ingatannya. Mungkin karena faktor usia yang sudah mulai menua.
Ketika saya naik ke kelas 5 saya mulai belajar kitab Nahwu yang kata guru saya levelnya lebih tinggi dan lebih sulit. Kitab ini berupa sebuah susunan bait syair yang enak dibaca dan dihafal. Itulah hebatnya ulama' dahulu. Ilmu yang sulit bisa dibikin mudah dengan cara dijadikan susunan syair.
Entah saya dapat motivasi darimana. Saya pun sudah lupa. Saya mencoba menghafal kitab imrithy ini. Jumlah syair nya sekitar 250 an bait. Dan ternyata saya pun bisa menghafalnya. Peristiwa inilah yang akan menjadi titik awal perubahan besar dalam hidup saya.
Dalam sebuah perlombaan kalau tidak salah saya mulai mendapatkan juara. Termasuk dalam urusan nahwu yang satu ini. Nama saya sudah mulai diperhitungkan oleh kawan dan guru-guru saya.
Dan jangan ditanya tentang rutinitas saya di tahun kedua. Sama saja dengan tahun pertama. Ya masak, ya nyuci. Dan tahun kedua ini saya tetap tidak punya lemari. Jadi pakaian saya ditaruh di kardus yang harus diganti ketika sudah mulai rusak.
Jangan ditanya berapa uang saku saya saat itu. Setiap dua pekan ortu saya akan mengirimi saya beras plus sambal plus uang 10 ribu.
Kalau masih awal bulan saya biasa masak pakai kompor minyak tanah. Tapi kalau sudah akhir bulan saya harus mencari kayu bakar dulu untuk bisa masak dan akhirnya makan.
Karena pondok saya tak berpagar maka kami para santri bisa berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Dan memang banyak kawan saya yang berasal dari sekitar pondok yang juga sekolah di pondok tapi tidak mondok. Istilahnya santri kalong.
Peluang ini bisa saya gunakan dengan cara minta kepada temen kampung agar saya boleh ambil daun singkong nya untuk kami jadikan lauk pauk.
Jangan ditanya gimana caranya masak. Intinya bisa dimakan ya sudah itulah makanan paling enak untuk hari itu.
Komentar