Masa kecil kita dahulu mungkin ada yang sebagian main layang-layang. Rasanya senang sekali. Sambil bersiul berharap angin akan datang dan kita pun akan menaikkan layang-layang kita. Kadang angin datang. Kadang juga tak kunjung datang.
Tak peduli panasnya terik matahari siang bolong. Bersama teman-teman pergi ke pesawahan sambil membawa layangan Masing-masing. Benar-benar sebuah pengalaman yang sulit dilupakan. Bahkan terkadang sampai dicari oleh ibu kita agar kita berhenti bermain layangan dan kita tidur siang.
Adakah kaitannya antara mendidik anak dengan bermain layangan? Menurut saya ada. Mari kita coba korelasi kan antara keduanya.
Anak ibarat sebuah layangan. Terlebih anak yang sudah menginjak remaja. Anak remaja adalah anak yang ingin bersosialisasi dengan teman sebayanya. Komunikasi yang nyambung walaupun kadang diselingi dengan perselisihan adalah sebuah pengalaman yang tak kan terlupakan.
Anak remaja adalah anak yang memiliki kemerdekaan dan kebebasan. Mereka ingin mengekspresikan khayalan dan cita-citanya walaupun melalui proses trial and error. Ibarat belajar mobil, mereka sedang mencoba mengepaskan ban mobil pada jalan yang tepat. Dan kita sebagai orangtua menunjukkan cara yang benar dimana kadang kita senang tatkala anak kita mudah memahami petunjuk kita. Namun terkadang kita pun dibuat dongkol tatkala anak kita tak kunjung paham walaupun kita mencoba bersabar.
Kembali ke layangan. Tatkala layangan masih rendah, maka si anak akan menarik terus layangannya agar dia bisa segera terbang tinggi. Proses ini cukup memakan waktu. Bahkan terkadang layangan jatuh ke tanah dan si anak berusaha lagi menaikkan layangannya. Demikian juga anak kita. Mendidik dan mengajar mereka pada awalnya lumayan susah. Terkadang mereka bisa langsung paham. Terkadang juga lama pahamnya.
Ketika layangan sudah meninggi beda lagi perlakuan kita. Layangan sudah nyaman di atas angin. Bahkan kita pun memberinya semangat dalam bentuk mengulurkan tali lebih panjang lagi. Hingga sampai pada satu kondisi dimana layangan ini kita biarkan dan kita tinggalkan. Karena dia sudah nyaman di atas angin. Dalam keadaan seperti ini anak kita sudah besar. Dia sudah nyaman dengan lingkungan dan pekerjaannya. Dia lupa kepada kedua orangtuanya. Bahkan tidak kembali kecuali jika ditarik atau ditelpon oleh orangtuanya.
Benarkah demikian? Mari renungkan!
Komentar