Dalam memilih sebuah profesi tentu saja banyak sekali yang menjadi pertimbangan yang menjadi landasan keputusannya. Tak terkecuali gaji atau ma'isyah yang akan didapatkannya ketika memutuskan memilih sebuah profesi.
Jika mau realistis, hampir kebanyakan masyarakat atau pribadi akan memilih profesi yang menjanjikan seperti menjadi ASN yang pastinya akan mendapatkan gaji dan bonus bulanan. Inilah yang sering menjadi landasan keputusannya yakni ada kepastian sumber penghidupan.
Diantara profesi yang kerap diincar adalah ASN baik guru, polisi, TNI atau pegawai BUMN seperti bekerja di Bank.
Namun demikian adanya kepastian gaji juga berbanding lurus dengan standar administrasi, kompetensi yang harus menyertainya. Setidaknya ada seleksi yang harus dilewati untuk menjadi ASN.
Bagaimana dengan profesi yang tidak menjanjikan kepastian gaji? Tentu saja hanya orang-orang yang memiliki tingkat kesabaran yang kuat yang akan menerima dan menjalani profesi seperti itu.
Kita lihat betapa banyak guru honorer yang gajinya tidak jelas. Bahkan jauh dari kata layak dan pantas. Walaupun tetap saja mereka bersabar menunggu diangkat menjadi ASN atau PPPK.
Pun demikian dengan profesi pengasuh di pondok pesantren. Hanya orang-orang tertentu saja yang akan menekuni dan menerima profesi ini. Entah bahasa apa yang bisa disematkab kepada mereka. Sebab menjadi pengasuh di pondok pesantren bukan sekedar berat tapi sangat berat sekali. Ditambah lagi gaji yang ala kadarnya alias jauh dari kata layak dan pantas.
Dimana beratnya menjadi pengasuh? Setidaknya ada beberapa indikator yang menjadi ukuran beratnya profesi pengasuh. Diantaranya
1. Tidak ada batasan jam kerja
Secara normatif, ada jam kerjanya. Namun fakta di lapangan sering kali pengasuh bekerja lebih dari jam kerja yg ditetapkan oleh lembaganya. Kok bisa?
Semisal pada saat si anak seharusnya masuk kelas cuma karena sakit, maka pengasuh lah yang berperan. Padahal itu bukan jam kerjanya. Seharusnya si pengasuh istirahat karena sudah bukan jam kerjanya, tapi karena ada anak sakit, otomatis si pengasuh harus mengatasinya.
Contoh lain, santri wajib tidur jam 22.00. Fakta di lapangan, mereka harus jaga dan kontrol santri dan memastikan semua santri sudah tidur dan istirahat di kamar masing-masing. Kenyataannya kadang masih ada santri yang ngobrol, ngrumpi, bahkan lompat pagar keluar dari pondok.
Yang seharusnya mereka istirahat, akhirnya istirahat itu pun hilang karena harus mencari santri yang hilang.
2. Harus memiliki kesabaran ekstra
Ibarat orangtua yg memiliki banyak anak. Pengasuh juga demikian. Yang dihadapi adalah banyak model dan tipe santri.
Ada santri yang penurut. Sekali dinasehati langsung sadar dan kembali ke jalan yang lurus.
Ada santri yang lumayan susah nasehatinya. Butuh waktu agak lama untuk menyadarkannya dan mengembalikan pada jalan yang benar.
Ada santri yang susah sekali diatur. Bahkan berani menghina pengasuh.
Nah, disinilah seorang pengasuh harus memiliki kesabaran ekstra. Kalau tidak memiliki kesabaran ekstra, bisa saja pengasuh main pukul dan hajar saja.
3. Jadi teladan
Menjadi pengasuh sangat berat sekali. Itu juga yang pastinya dirasakan oleh orangtua. Mau mengajari mereka apapun kalau kita tidak memberi contoh dan teladan, pengasuh akan disorot atau bahkan dicela.
Segala aspek dari pengasuh mulai cara berpakaian, perilaku, ibadah, cara komunikasi dan lain sebagainya harus selalu dalam kondisi bagus. Jika tidak maka akan sulit memberikan arahan dan nasehat.
Maka kompetensi yang harus dimiliki pengasuh lebih banyak pada aspek kepribadian, komunikasi, psikologi, kepemimpinan dan kecakapan emosional lainnya. Dan semua itu adalah soft skill yakni skill yang tak terlihat namun dengan mudah kita merasakan kemanfaatan nya.
Maka wajar jika profesi ini sepi peminat. Sebab tanggungjawabnya besar. Namun gajinya tak seberapa.
Minat jadi pengasuh? Hubungi nomor kami 081313836275
Komentar