Siti Aisyah We Tenri Olle, Penyelamat Sastra Warisan Dunia “I La Galigo”
Mungkin kita masih asing dengan nama epos I La Galigo, atau mungkin bahkan tidak pernah mendengar sebelumnya. Padahal epos I La Galigo adalah epos terpanjang di dunia dan diakui sebagai salah satu sastra warisan dunia. Epos yang ditulis sekitar abad 13-15 ini menceritakan tentang kisah cinta Sawerigading sang tokoh utama beserta adat-istiadat masyarakat Bugis di kala itu.
Epos I La Galigo ditulis dalam Bahasa Bugis kuno yang tidak semua orang bisa memahaminya. Hanya orang-orang tertentu yang bisa memahami sastra Bugis Kuno, yaitu kaum intelek dan “priyayi” kerajaan Bugis yang concern terhadap dunia sastra. Epos ini ditulis dengan huruf lontaraq, huruf Bugis kuno yang sangat berbeda dengan alphabet latin.
Pada masa itu belum dikenal kertas seperti zaman sekarang. Penulisan epos I La Galigo oleh nenek moyang orang Bugis ditorehkan dalam daun lontar yang sangat banyak, jumlahnya sampai beribu-ribu. Sehingga sangat sulit untuk mengumpulkan epos secara keseluruhan. Diperkirakan baru sepertiga yang bisa diselamatkan.
I La Galigo adalah suatu sajak maha besar, mencakup lebih dari 6.000 halaman folio. Setiap halaman naskah tersebut terdiri dari 10-15 suku kata. Artinya cerita I La Galigo ditulis dalam sekitar 300.000 baris panjangnya. Satu setengah kali lebih panjang dari epos terbesar Anak Benua India, Mahabharata yang hanya terdiri dari 160.000-200.000 baris.
I La Galigo tersusun dari sekitar 300.000 larik sajak dalam bahasa arkaik dengan cerita berangkai. I La Galigo bahkan bisa disandingkan dengan epik Kirgizstan, Manas yang berusia seribu tahun. Bisa juga disejajarkan dengan novel terbesar Cina, Impian Kamar Merah (Hung Lou Meng) berjumlah 120 jilid yang ditulis oleh Cao Xueqin dan Gao E di era Dinasti Manchu pada pertengahan abad ke-18.
Sungguh epos yang sangat panjang, peninggalan nenek moyang orang Bugis yang diakui sebagai warisan sastra dunia. Sampai sekarang belum diketahui siapa yang menulis I La Galigo. Epos tersebut hampir hilang dari peradaban apabila tidak diselamatkan oleh Siti Aisyah We Tenriolle. Dialah yang berinisiatif menulis ulang epos tersebut dalam Bahasa Bugis umum yang bisa dipahami oleh semua kalangan.
Siti Aisyah We Tenriolle adalah Datu (Ratu) dari Tanette Sulawesi Selatan. Belum diketahui secara pasti kapan tanggal lahirnya. Yang tercatat dalam sejarah adalah masa kepemimpinannya di Kerajaan Tanette dari tahun 1855-1910. Dia menjabat sebagai Ratu selama limapuluh lima tahun, masa jabatan yang cukup lama. Ayahnya bernama La Tunampareq alias To Apatorang dengan gelar Arung Ujung. Sedangkan ibunya bernama Colliq Poedjie yang bergelar Arung Pancana. Kedua orang tua Aisyah adalah bangsawan, ini bisa diketahui dari pemakaian gelar arung di depan nama.
Aisyah adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak laki-lakinya bernama La Makkawaru. Sedangkan adik bungsunya bernama I Gading. Tak berapa lama kemudian ayahnya, La Tunampareq meninggal dunia. Akhirnya sang ibu, Colliq Poedjie memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Tanette. Aisyah dan keluarganya hidup menumpang bersama kakeknya yang bernama La Rumpang di Tanette. Pada waktu itu sedang terjadi perselisihan antara Belanda dan Raja Tanette, La Patau. Akhirnya Belanda menurunkan tahta La Patau di tahun 1840. La Patau diasingkan keluar dari Sulawesi Selatan. Sebagai gantinya, Belanda mengangkat La Rumpang Megga Matinro Eri Moetiara, kakek Aisyah sebagai Raja Tanette.
Kecerdasan Aisyah terlihat sedari kecil. Dia sangat menyukai buku-buku sastra. Bersama ibundanya Colliq Poedjie, Aisyah menyelami sastra-sastra Bugis kuno, terutama I La Galigo. Colliq Poedjie adalah seorang intelek, dialah yang mengurusi pengarsipan dokumen-dokumen kerajaan. Colliq sering diminta oleh Raja yang merupakan ayahnya sendiri untuk menulis surat-surat kerajaan.
Kerajaan Tanette merupakan kerajaan Islam. Pengaruh Islam melekat sangat kuat sebagaimana di kerajaan lainnya seperti kerajaan Goa,Tallo dan Bone. Meski demikian, semasa La Rumpang menjabat menjadi Raja, beliau tidak menutup diri dari kebudayaan lain yang masuk. Dimasa pemerintahannya, La Rumpang menjalin persahabatan yang cukup baik dengan B.F. Matthes dan Ida Pfeiffer.
B.F.Matthes adalah peneliti dari Belanda yang dikirim ke Hindia Belanda dari perwakilan Nederlandsch Bijbelgenootschaap (Lembaga dari Belanda yang mengurusi masalah kitab-kitab). Lewat kedatangan Matthes pada tahun 1853 inilah I La Galigo berhasil digali kembali dan diterjemahkan. Sedangkan Ida Pfeiffer adalah orang Austria yang melakukan perjalanan keliling dunia dan menyempatkan diri singgah di Tanete pada April 1853
Ketika La Rumpang sudah berusia lanjut dan memutuskan untuk turun tahta, beliau menunjuk Siti Aisyah We Tenriolle sebagai penggantinya. Sebenarnya keputusan ini ditentang oleh Colliq Poedjie, karena masih ada anak laki-laki Colliq Poedjie yang lain yaitu La Makkawaru. Tetapi La Rumpang tidak menyukai La Makkawaru sebab dianggap tidak layak menjabat sebagai Raja. La Makkawaru memiliki kebiasaan buruk berjudi dan sabung ayam. Sebagai Raja,La Rumpang memiliki otoritas tertinggi. Akhirnya diputuskan Siti Aisyah We Tenriolle sebagai penggantinya.
Usulan tentang kenaikan Siti Aisyah We Tenriolle dilaporkan kepada Gouverneur Celebes en Onderhorigheden (Gubernur Sulawesi dan Daerah Taklukan) pada 1852. Usulan ini diterima, sehingga bertahtalah Siti Aisyah We Tenriolle sebagai Datu Tanete ke-XVIII pada 1855, menggantikan kakeknya, La Rumpang Megga Matinro Eri Moetiara .
Kecerdasan dan kecakapan Aisyah terlihat semasa ia menjadi Ratu. Tidak hanya cerdas di bidang kesusateraan tapi juga bidang pemerintahan dan bidang pendidikan. Aisyah berhasil mendirikan sekolah bagi rakyatnya. Sekolah tersebut tidak hanya diperuntukan bagi laki-laki, tetapi juga perempuan. Meski kurikulumnya masih sangat sederhana, hanya membaca, menulis dan berhitung tapi pada masa itu tergolong sudah sangat hebat. Karena pada masa itu anak perempuan tidak bersekolah. Aisyah lah tokoh yang pertama kali mendirikan sekolah yang menerima murid putra dan putri dalam satu kelas. Dia berhasil mewujudkan kesetaraan hak pendidikan bagi laki-laki dan perempuan jauh sebelum Kartini dilahirkan. Aisyah menginginkan rakyatnya melek pendidikan, tidak terkecuali perempuan.
Di bidang pemerintahan Aisyah menerapkan konsep Pau-Pauna Sehek Maradang (lima tuntunan Hikayat Syekh Maradang). Hikayat tersebut menyebutkan bahwa kewajiban pemimpin itu ada lima yaitu : “Orang yang pintar adalah orang yang memikirkan bagaimana menciptakan kesejahteraan suatu negeri; Orang yang kaya adalah orang yang memiliki harta benda dan mendermakan kekayaannya untuk membangun negerinya; Orang pemberani adalah orang yang dapat melindungi rakyatnya; Wali adalah orang yang dimuliakan Allah; dan Fakir adalah orang yang diterima doanya oleh Alloh.”
Disamping menerapkan hikayat Syekh Maradang, Aisyah juga menerapkan konsep pemerintahan sentralisasi. Pemerintahan Siti Aisyah We Tenri Olle ditandai dengan perampingan struktur pemerintahan kerajaan yang dipimpinnya. Tujuan dari perubahan tipe pemerintahan dari desentralisasi menjadi sentralisasi ini semata-mata untuk mengatur wilayah Tanete yang merupakan suatu kerajaan dengan luas 61.180 hektar dan berpenduduk 13.362 jiwa pada tahun 1861.
Aisyah sangat mencintai dunia sastra. Melalui kekuasaannya, dia berhasil mengumpulkan naskah-naskah tua I La Galigo yang terserak di beberapa kerajaan yaitu Goa,Tallo,Bone. Dia dan ibunya mengumpulkan naskah tersebut selama duapuluh tahun. Bersama BF.Matthess, peneliti asal Belanda, mereka tekun menyelamatkan naskah tersebut. Akan tetapi diperkirakan baru sepertiga dari naskah keseluruhan yang berhasil diselamatkan. Aisyah menerjemahkan ke dalam bahasa Bugis, sedangkan Mathess ke bahasa Belanda. Oleh Matthes terjemahan ke dalam Bahasa Belanda ini kemudian diserahkan kepada Pemerintah Kerajaan Belanda lewat Nederlandsch Bijbelgenootschaap dan diabadikan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Sampai saat ini, terjemahan I La Galigo masih tersimpan rapi di universitas Leiden Belanda dan diakui sebagai salah satu sastra warisan dunia.Sungguh ironis, sebuah karya bangsa Indonesia tetapi tersimpan di negeri orang. Bahkan pementasan internasional epos I La Galigo secara teatrikal dan musikal di tahun 2004 juga digarap oleh seniman Amerika. Pementasan tersebut berlangsung di Eropa, Amerika, Australia, kemudian mampir ke Makassar tanah tumpah darah asli I La Galigo.
Karya I La Galigo bisa mencuat ke dunia internasional berkat jasa Siti Aisyah we Tenriolle, Colliq Poedjie, dan BF Matthes. Aisyah memiliki peran yang paling dominan. Karena dialah yang menguasai sastra bugis kuno sekaligus kekuasaanya yang sangat kuat sebagai ratu. Aisyah adalah wanita yang hebat, akan tetapi sangat disayangkan bangsa Indonesia kurang menghargainya.
Siti Aisyah we Tenriolle bukanlah selebriti di nusantara, kita tidak pernah mendengar namanya di buku-buku sejarah. Nama Aisyah tenggelam tak berjejak, hanya orang-orang Bugis saja yang mengenalnya.
Dialah Ratu yang menjabat paling lama di nusantara, lima puluh lima tahun. Dialah yang mendirikan sekolah Rakyat untuk putra-putri dalam satu kelas. Aisyah Sang penggagas konsep persamaan hak pendidikan bagi laki-laki dan perempuan jauh sebelum Kartini lahir. Dia juga lah penyelamat sastra warisan dunia I La Galigo. Semoga suatu saat nanti pemerintah akan mengabadikan namanya sabagai salah satu pahlawan wanita indonesia…..amiiin…
Sumber :
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=485812835901734&id=100034190664221
Komentar