Hampir semua sekolah sudah melaksanakan dan mengadakan program literasi sekolah. Baik yang masih level dasar yakni budaya baca buku maupun level lainnya. Demikian juga Darul Madinah Madiun juga sudah menerapkan literasi. Program ini dimulai sejak tahun pelajaran 2020-2021.
Awal mula lahirnya program ini dilatarbelakangi oleh sebuah kegelisahan. Pernah suatu ketika saya pernah mengikuti seminar nasional dengan pemateri level nasional. Salah satunya adalah Dr. Taufik Ismail. Salah satu budayawan senior Indonesia.
Dari pemaparan beliau dijelaskan bahwa Indonesia merupakan negara dengan program nol buku. Berbeda dengan negara-negata tetangga yang masih terus menjaga tradisi membaca.
Tradisi ini berupa adanya buku tertentu yang wajib dibaca selama menempuh studi di jenjang tertentu. Sedangkan Indonesia sendiri pernah menerapkan kebijakan ini pada saat sebelum kemerdekaan yakni pendidikan AMS.
Dari pendidikan AMS inilah lahir para founding father Indonesia seperti Mr. Ahmad Yamin, Soekarno, Hatta, dan lain sebagainya.
Pada tahun pelajaran 2019-2020, kegelisahan ini dicoba dicarikan solusi yakni mencoba menjalin kerjasama dengan perpustakaan kota Madiun. Namun setelah ditimbang-timbang kerjasama ini akhirnya tidak dilanjut. Sebab terkendala dengan prosedur lembaga yang cukup rumit.
Pada tahun pelajaran 2020-2021, tepatnya pada saat membimbing proses terbitnya majalah Nafiah, saya mencoba memberikan tantangan kepada adik-adik OPH. Tantangan tersebut berupa tambahan tugas yakni menerbitkan buku. Jadi selain buletin Nafi'ah yang sudah terbit setiap tahun. Pada tahun pelajaran ini ditambah dengan satu tugas tambahan yakni menerbitkan buku antologi.
Proses pun berjalan dengan baik. Dan langsung direspon oleh anak-anak OPH. Bersamaan dengan proses penyusunan target baru, ada seorang santri MA Darul Madinah Madiun yang sudah lulus dan sedang menjalankan program pengabdian selama setahun mengikuti challenge writing. Berbagai postingan tulisan selalu update di media sosial Facebook miliknya. Komunikasi pun bermula dari temuan ini. Hingga informasi terakhir sampai kepada saya bahwa santri tersebut belom beruntung memenangi challenge writing tersebut. Sontak pada saat itu juga saya minta file tulisannya dan beliau bersedia tulisannya diterbitkan menjadi buku.
Lebih awal lagi, proses lahirnya literasi Darul Madinah Madiun adalah pertemuan online antara saya dengan Bapak Lukman Hakim. Salah seorang wali santri SMP Darul Madinah Madiun tak tak lain adalah kepala P3G Jawa Timur. Komunikasi berlanjut menjadi pertemuan langsung di masjid at taqwa Darul Madinah Madiun. Dari pertemuan ini kesamaan ide bertemu dan berlanjut dengan proses penerbitan dua buku sekaligus.
Alhamdulillah. Sambil menunggu terbitnya kedua buku tersebut. Upaya lain terus dilakukan. Salah satunya dengan menetapkan literasi sebagai syarat kenaikan kelas dan syarat kelulusan. Kebijakan ini dituangkan dalam pedoman akademik MA Darul Madinah Madiun.
Pada level kebijakan, praktis kegiatan literasi MA Darul Madinah Madiun tanpa halangan yang berarti. Secara kebijakan, kegiatan ini langsung dikawal oleh kepala madrasah. Secara pembiayaan juga langsung dihandle oleh kepala madrasah. Hampir tanpa halangan dan rintangan yang berarti.
Pada level kebijakan yang lebib tinggi yakni yayasan, praktis kebijakan ini juga tanpa halangan sebab kepala sekolah juga menjabat sebagai sekretaris yayasan dimana hampir semua kebijakan yayasan juga berada di tangan sekretaris yayasan.
Sedangkan ketersediaan buku bacaan, MA Darul Madinah Madiun tidak memiliki perpustakaan baik tempat, buku bacaan dan perlengkapan lainnya. Namun berbagai upaya dilakukan. Salah satunya dengan menjalin komunikasi antara madrasah dengan salah seorang wali santri yang berposisi sebagai manajer di salah satu perusahaan BUMN yang berlokasi di kota Madiun yakni PT. INKA.
Gayung bersambung, tantangan pertama mendapatkan solusi yakni MA Darul Madinah Madiun mendapatkan bantuan pojok baca dari PT. INKA yang pada saat itu langsung diserahkan oleh wali kota Madiun yakni Pak Maidi dalam acara serah terima CSR PT. INKA
Tentu saja tantangan tetap ada. Di antaranya adalah menjaga kontinuitas atau keberlanjutan program ini. Selama ini tetap dijaga, maka program literasi ini akan terus berjalan dengan baik. Namun program ini harus diperluas. Yakni tidak hanya pada skop Darul Madinah Madiun.
Tantangan yang benar-benar harus mendapatkan perhatian serius adalah pada aspek guru dimana sampai pada tahap ini para guru baru menghasilkan satu karya bersama. Sedangkan buku lainnya adalah semuanya karya santri dan kepala MA Darul Madinah Madiun.
Tantangan ini lebih fokus pada mengubah mindset konsumsi menjadi produksi. Dari penikmat menjadi pembuat. Utamanya dari sumber atau bahan ajar dimana sampai saat ini, Darul Madinah Madiun masih menggunakan dari penerbit buku dan LKS.
Tentu saja penggunaan buku dan LKS dari penerbit memiliki sisi positif. Namun akan lebih baik jika buku atau LKS dibuat sendiri oleh guru yang mengampu mata pelajaran tersebut.
Masih panjang perjalanan literasi Darul Madinah Madiun untuk sampai pada tahap mandiri sumber dan bahan ajar. Sebab ini memerlukan niat dan kemauan yang besar dan kesamaan tujuan untuk menghasilkan karya mandiri dalam sumber dan bahan ajar.
Komentar